Jumat, 06 Maret 2009

Antara TiJeku dan TaMi mu

Di Tempo edisi 2-8 Februari ada sebuah artikel menarik yang berjudul Cemarut TransJakarta di ibu kota. Garis besarnya sih bercerit tentang kesemrawutan TransJakarta setelah lima tahun beroperasi. Booo...ternyata lima tahun sudah TransJakarta beroperasi, tidak terasa ya. Tidak terasa manfaatnya gitu. Hehe...

Yups....yups...yups...proyek yang rencananya digagas oleh mantan Gubernur DKI, Sutiyoso, sebagai solusi kemacetan Jakarta ini ternyata tidak berjalan sesuai harapan, bahkan cenderung menuai banyak masalah dan memantik kontroversi. Seringnya sih moda transportasi ini dituding sebagai penyebab bertambahnya kemacetan di Ibukota. Ya gimana ya...dengan luas jalan yang 'cuma segitu doang' dan volume kendaraan yang 'bujubuneng banyaknya' itu, kemacetan di Jakarta sudah 'Masya Allah hebatnya'. Nah ini...luas jalan yang 'cuma segitu doang' masih dipapas oleh pembangunan jalur khusus buat si TiJe *panggilan sayangnya* ini. Tambah macet lah. Apalagi saya pernah nonton di SCTV kalau luas jalan di Jakarta hanya bertambah sesuai deret hitung, sementara jumlah kendaraan bertambah sebanyak deret ukur. Haalaaaahh....kemacetan bertambah parah.

Belum lagi masalah pelayanan, yang buruk, yang khas Indonesia banget. Waktu tunggu (headways) yang harusnya 5-10 menit ngaret sampai 15-30 menit, shelter rusak, penumpang numpuk, jalan rusak *jadi si TiJe harus masuk ke 'jalan biasa'*, sampai jalur yang dimasuki kendaraan pribadi. Sounds familiar? Ya...ternyata masalah khas bangsa Indonesia mampir juga ke dalam kasus TiJe ini. Kalau udah ada sarana, gak bisa ngerawat. Gak pernah punya blueprint, dan maunya yang instan-instan. That's it.

Dengan setumpuk masalah yang menimpanya, TiJe yang digadang-gadang sebagai pengurang kemacetan Jakarta malah membuat kemacetan Jakarta semakin menggila. Alhasil, TiJe tidak bisa membuat pemilik kendaraan pribadi beraih untuk menggunakan transportasi umum. Masalahnya? Ya karena udah keki duluan ama moda transportasi ini. Alasan seperti, "Ngapain gue naik busway? Ini kan yang bikin jalanan tambah macet." mungkin menjadi alasan yang paling sering dikemukakan. Yah...apa boleh buat, semua target yang dicanangkan Bang Yos untuk TiJe tidak ada yang bisa direalisasikan. Targetnya, tahun 2010 Jakarta puya 14 koridor busway dan mengangkut 5 juta penumpang setiap hari *wuih...setengah dari penduduk Jakarta, bo*. Kenyataannya, hingga akhir 2008,
baru dibangun 7 koridor dan setiap hari 'cuma' mengangkut seperempat juta orang.

Sebenernya kenapa sih moda busway yang dipilih Pemprov DKI? Jawabannya karena dianggap lebih terjangkau, infrastruktur jalannya tersedia, serta pembangunan sarana dan pra sarananya lebih cepat. Oke, poin utama adalah: murah dan cepat.

Murah. Bus merupakan moda transportasi termurah yang bisa mengangkut orang banyak. Harga satu chassis bus berapa sih? 500-800 juta kalo gak salah. Itu pun udah dapat yang Mercedes-Benz. Kalau semacam Hino, Daewoo, dan Hyundai *merek chassis yang banyak dipake oleh Tije* bisa lebih murah lagi. Harganya bermain di sekitar 300-500 juta. Bandingkan dengan moda transportasi lain, seperti monorail atau subway, jelas biaya pengadaan busway jauh lebih murah.

Cepat. Jalan udah ada, neng. Dibikin aja jalur khusus buat Tije plus halte di sepanjang jalan. Gak perlu repot-repot ngebangun lagi seperti *lagi-lagi kita bandingkan dengan* monorail dan subway. Sarana? Prasarana? Ah...gampang lah. Toh cuma butuh, halte, dan jalur khusus yang dibuat di jalan yang ada. Gak perlu susah-susah . Cepat, praktis, dan murah.

Kita juga perlu melihat alasan lain kenapa Pemprov DKI tertarik sama moda busway. Usut punya usut, proyek TiJe merupakan proyek yang mencontoh kesuksesan TransMilenio di Bogota, Kolumbia. Ya....inilah proyek yang membuat Bang Yos begitu ngebet membuat proyek busway di Jakarta. TransMilenio menjadi fenomenal karena dengan adanya proyek ini kemacetan di Bogota menjadi jauh berkurang, bahkan bisa dibilang hilang. Dengan armada yang terdiri 1.059 bus gandeng, 73 bus pengumpan (feeder), tujuh terminal, dan jalur sepanjang 84 kilometer, TransMilenio mengangkut 1,42 juta penumpang setiap hari. Untuk kenyamanan yang ditawarkannya, TransMilenio 'hanya' mengutip penumpangnya sebanyak 1.300 peso (Rp. 4.500) untuk segala jurusan, bus pengumpan (feeder) melayani penumpang ke halte terdekat secara gratis, sementara untuk berpindah-pindah dari satu koridor ke koridor lain ada jembatan penyebrangan dan jembatan bawah tanah. Hebatnya, proyek fenomenal ini hanya dibangun selama 3 tahun (1999-2002). Ajiiiiiib kan?

Tapi Pemprov DKI lupa atau mungkin tidak tahu bahwa pembangunan TransMilenio menyatu dengan keseluruhan tata kota. Sistem TransMilenio di Bogota merupakan bagian dari kesuksesan pembenahan tata kota yang dilakukan oleh walikota Bogota sejak tahun 1995, empat tahun sebelum pembangunan TransMilenio. Antanas Mockus Civicas dan Enrique Penalosa adalah tokoh yang paling berjasa dalam kesuksesan proyek ini. Ya..dua orang ini adalah walikota Bogota yang secara bergantian memimpin Bogota dari tahun 1995 dan secara simultan membenahi tata kota Bogota.

Civicas memulainya dengan perbaikan fasilitas publik. Kawasan kumuh diubah menjadi taman kota, jalan raya dan jalan pedestrian diperlebar. Harga yang dibayarnya atas kebijakan ini tidaklah murah, dia menerima ratusan ancaman pembunuhan karenanya. Tahu sendiri kan, Kolumbia terkenal tinggi angka kejahatannya.

Sementara Penalosa memikirkan ide tentang busway. Sebuah konsep yang banyak diterapkan di negara Amerika Latin menyusul kesuksesan BRT (Bus Rapid Transport) di Curitiba, Brazil. Hanya, dia tak mau menjiplak begitu saja konsep itu. Ide dasarnya adalah, memindahkan orang dari transportasi pribadi ke transportasi massal. Infrastruktur busway pun mulai dibangun dengan dana 350 juta dollar. Biaya ini meliputi pembangunan 48 kilometer jalur busway dan 60 halte.

Kebijakan lain juga diterapkan. Salah satunya adalah sistem pico y placa (pembatasan kendaraan pada jam sibuk). Jadi, dalam sepekan ada nomor-nomor tertentu yang tak bisa keluar rumah pada jam-jam sibuk. Misalnya, mobil berakhiran 5 tak boleh keluar pada hari Selasa dan Jumat. Cerdik! Karena dengan peraturan ini orang mau tak mau musti menggunakan TransMilenio atau setidak-tidaknya nebeng temen lah.

Civicas, yang berkuasa kembali pada tahun 2002, meneruskannya dengan membuat kebijakan Civlioca. Kebijakan pelarangan kendaraan bermotor pada hari Minggu. Jadi pada hari itu, ya cuma sepeda ama orang jalan kaki doang yang bisa bersileweran di sebagian besar jalan di Bogota. Ama TransMilenio kali ya?

Udah lihat perbedaannya? Bogota memperbaiki dulu tata kotanya selama empat tahun baru bikin TransMilenio. Sementara Jakarta? Bikin TiJe duluan dah, urusan tata kota? Engh....gampang itu dipikir nanti. Jadi ya hasilnya juga beda, penerapan sistem TransMilenio membuat transportasi di Bogota menjadi semakin oke, sementara pembangunan TiJe di Jakarta membuat transportasi semakin memble.
Kalau memang Jakarta mau berkiblat ke Bogota, seharusnya TiJe baru dibangun tahun 2008 kemarin. Sementara rentang waktu 2004-2008 dibuat untuk pembenahan tata kota yang sudah semrawut itu. Jangan malah dibalik.

Ngomong-ngomong saya jadi teringat pembicaraan saya dengan Mas Angga, alumni Teknik Arsitektur UGM 2006 yang bertemu saya di bus Damri Soekarno-Hatta, mengenai apa yang harus dimulai dibenahi Jakarta bila ingin lebih tertata. Jawbanya, ya TATA KOTANYA dan dilanjutkan dengan PEMBANGUNAN yang BERSINERGI dengan TATA KOTA.

Gitu tuh, Bang Foke. Ngerti kan maksud aye? Ngerti dong. Pan katanye Abang ahlinya soal gitu-gitu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar